Wednesday 23 November 2016

IBADAH YANG SEJATI



IBADAH YANG SEJATI

TEKS: Roma 12:1
Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.

Roma 12 : 1 adalah konklusi dari kitab Roma 1-11. Seperti kita ketahui bahwa penulisan surat atau Alkitab secara umum tidak memiliki pasal dan ayat. Pembagian pasal baru sekitar abad – 13 M dan pada abad ke – 16 M pasal dibagi lagi menjadi ayat-ayat. Pasal 1-8 berisi kebaikan Allah atas orang yang bukan Yahudi, yang disebut sebagai Bar-bar dan Kafir. Namun Allah dalam karya keselamatan, pertolongan, dan perlindungan-Nya telah menjadikan kaum kafir menjadi keluarga Kerajaan. Perlakuan yang sama juga diterima oleh orang Yahudi yang secara khusus di bahas dalam pasal 9-11.
Sebab itu bagian pertama dari ayat ini adalah “demi kemurahan Allah”, sebuah encourage dari Paulus mengingat apa yang Tuhan lakukan kepada setiap manusia. Kalau biasanya menasehati orang dengan nada negative – contoh jika anak susah belajar, maka kita akan menasehati dengan kata pendahuluan: “mau jadi apa kamu, sekarang belajar biar pintar” – maka Paulus justru meng-encourage jemaat agar memiliki ibadah yang sejati karena Allah telah bermurah hati. Ya, karena kemurahan Allah inilah para pemercaya harus beribadah dengan benar, bukan karena takut tidak selamat sehingga menjadi penghuni neraka, atau takut doanya tidak dijawab Tuhan atau ketakutan yang lainnya. Hanya demi kemurahan Allah saja ibadah kita memiliki label “sejati”.
Bagian selanjutnya, kata “menasehati kamu”. Dari struktur bahasa Yunani, kata ini menggunakan bentuk orang pertama, tunggal, waktu sekarang ( present ), aktif, dan indikatif (dalam NSAB memakai kata urge) berarti sebuah permintaan yang bersifat mendesak, juga secara pribadi, yang langsung dibacakan dan berlaku bagi semua pendengarnya.
Bagian 3 dari ayat ini adalah: “Persembahkanlah tubuhmu”, kata mempersembahkan berasal dari kata παραστησαι (parastesai), jenisnya kata kerja Infinitif dengan kala (tense) Aoris Aktif. Ini berarti mempersembahkan tubuh bukan hanya sekali, tetapi sekali untuk selama-lamanya. Ini juga berarti para pemercaya harus mengikatkan diri, memperbudakkan diri, menundukkan diri kepada Allah yang disembah selalu dan selama-lamanya. Saat Musa hendak membawa orang Israel dari tanah Mesir, alasan utama adalah mempersembahkan korban. Firaun keberatan karena Israel sedang berada dalam perbudakan penguasa Mesir. Firaun memaknai persembahan korban (Zevakh) yang dilakukan Musa dan Israel sebagai pembrontakan karena Musa dan Israel hendak memperbudakkan diri kepada Tuhan, dan bukan lagi kepada penguasa Mesir. Kualitas παραστησαι (parastesai) di sini harusnya memiliki kualitas korban (Zevakh) yang dimaksudkan Musa.
Bagian Persembahkanlah tubuhmu harus dengan kualitas “persembahan yang hidup (Zosan) yang berarti hidup, tidak mati, tidak terbunuh. Ini tidak lepas bahasan Roma pasal 7. Di sana Paulus mengungkapkan kematian tubuh karena manusia mewarisi dosa Adam dan Hawa. Hanya karena Roh Allah sajalah manusia kembali memperoleh kehidupan yang sejalan dengan kehendak Bapa. Persembahan yang hidup berarti bukan manusia lama, tetapi manusia yang sudah diperbaharui oleh Roh Allah. Sehebat apapun usaha manusia berbuat baik ternyata tidak sanggup memenuhi kriteria persembahan yang benar sebagai ibadah yang sejati. Hidup juga berarti dinamis, terus bergerak, tidak diam. Paulus memberikan kualifikasi pelayan Tuhan adalah mereka yang memiliki roh yang menyala-nyala. Bukan melayani agar roh menyala-nyala, tetapi roh harus menyala-nyala agar bias melayani Tuhan, itulah persembahan yang hidup.
Kualitas persembahan agar memenuhi Ibadah yang sejati adalah kudus (hagian): murni, tanpa noda, disendirikan. Pernyataan ini seirama dengan persembahan yang hidup, karena manusia lama kita adalah manusia dosa, sedangkan Allah menghendaki persembahan harus kudus dan hidup yang dikuduskan oleh roh setelah manusia lahir baru karena percaya kepada pengorbanan Kristus. Korban seperti inilah yang berkenan (euareston: berkenan, tanpa cacat) kepada Allah. Berkenan berarti sesuai dengan kehendak Allah, itu hanya terjadi jika tubuh kita hidup dan dipimpin Roh Allah. Lawan kata berkenan adalah dosa (hamartia: meleset dari sasaran). Dosa tidak hanya ketika kita membunuh atau mencuri, dosa bias kita lakukan jika hidup kita tidak sesuai dengan rancangan dan konsep ketika kita dijadikan Allah. Sebagai contoh sederhana, orang tua banyak membuat anak-anaknya jatuh dalam dosa ketika mereka dituntut untuk memperoleh nilai “bagus” saat ulangan. Sasaran ulangan sebenarnya adalah evaluasi dari guru agar mengetahui daya serap anak didiknya, tetapi anak berusaha mendapat nilai bagus karena bagi orang tua ulangan berarti ukuran prestasi. Akibatnya anak-anak berusaha mendapat nilai bagus dengan berbagai cara, yang penting terhindar dari omelan orang tua.
Bagian terakhir adalah “Ibadah yang sejati”. Menarik bahwa kata Ibadah dalam ayat ini memakai kata λατρειαν (latreian): Penggunaan seluruh potensi jasmani dan rohani untuk suatu tujuan. Ibadah tidak memakai Liturya (Liturgi): Tatalaksana, Tatatertib Ibadah. Mengacu pada kata ini Paulus menegaskan bahwa: Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23). Dalam ayat ini, Ibadah tidak melulu sebagai ritual (di gereja, di rumah, Persekutuan-persekutuan) tetapi sebuah panggilan hidup dalam posisi apapun, di manapun, dan kapanpun, hidup dengan segala problematik, kebiasaan, aktivitas adalah ibadah. Ibadah tidak hanya hari Minggu, tetapi di kantor, pabrik, pergaulan, rumah tangga, sekolah semuanya adalah ibadah. Penggunaan seluruh potensi berarti mau meng-up grade diri meski sudah mumpuni. Di pekerjaan jika hanya mengerjakan dengan cara standar, berarti sedang meleset dari rancangan Tuhan atas pekerjaan yang adalah ibadah dan pelayanan kita. Pelayan Tuhan di gereja yang tidak pernah belajar bukanlah melayani, tapi sekedar menjalankan jadwal. Demikian juga pelajar yang tidak sungguh-sungguh belajar berarti tidak sesuai sasaran, padahal belajar juga berarti Latreia. Di ayat lain Paulus mengajak para pemercaya untuk: Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu (I Tes 5:18). Apapun pekerjaan, posisi di pekerjaan, sesungguhnya ladang yang Allah siapkan agar kita beribadah dan melayani Tuhan. Setia sampai akhir adalah kriteria yang Tuhan inginkan dalam hidup kita. Setia sampai akhir bukan sekedar percaya, tetapi para pemercaya harus bertanggungjawab sampai dengan selesai termasuk dengan pekerjaan, posisi selama di dunia. Setia sampai akhir bukan saja saat kita didapati sedang berlutut atau merenungkan Firman, tetapi juga berarti menyelesaikan pekerjaan yang menjadi atnggungjawab kita dengan exelent.
Dalam Bahasa Indonesia, ayat ini diakhiri dengan “sejati” (λογικην). Kata Logiken/Logike dibahasakan menjadi sejati. Arti harfiahnya (logike, logika) seharusnya masuk akal (KJV: Reasonable). Berarti Ibadah yang sejati seharusnya Ibadah yang Masuk akal. Lalu apa hubungannya? Saya memaknai masuk akal dengan – yang pertama – “bukan karena ketidaktahuan”. Ibadah yang sejati adalah ibadah yang kita lakukan karena paham betul apa yang sedang kita perkatakan, lakukan, renungkan. Jemaat ketika memuji Tuhan kadang tidak memperhatikan maknanya, tetapi sekedar hafal atau membaca dari layar monitor. Larut dalam euphoria sukacita di gereja, tetapi tidak sungguh-sungguh menghayati perkataan setiap pujian. Di gereja bias gagah menyanyikan pujian: “ku kan berdiri di tengah badai”, tetapi saat badai datang  menangis dan menuduh Tuhan tidak mengasihinya. Saat memberi persembahan baik persembahan sukarela, perpuluhan atau lain sebagainya berharap untuk digandakan berkatnya dengan alasan rohani, 30 kali, 60 kali atau seratus kali lipat. Saya bercanda dengan jemaat; “kalau gandain uang itu bukan digereja pak, tapi sama Kanjeng Dimas”. Bukan berarti Tuhan tidak memberkati, tapi masalah itu bukan domain manusia, itu domainnya Tuhan. Manusia memberi persembahan dan burur-buru menengok ke lumbungnya, sudah diberkati atau belum. Tuhan jauh lebih tahu kapan kita butuh, agar kita terhindar dari perilaku hedonism.
Arti masuk akal (sejati) yang ke dua adalah: bukan karena kebiasaan. Hari minggu ke gereja, senin pagi bekerja, bangun tidur atau jelang tidur ada mezbah keluarga. Kadang dijalankan karena sudah terbiasa, padahal hidup berarti roh yang menyala-nyala. Daud bersukacita setiap ada yang mengajaknya ke rumah Allah. Jadi setiap saat berarti semangat yang tidak ada habisnya, seluruh kegiatan apapun nama harinya, disambut dengan semangat yang menyala-nyala karena memiliki kasih mula-mula (Wahyu 2:4).
Kata Logike seakar dengan Logos, untuk memahami masuk akal kita harus akrab dengan logos (Yoh 1:1). Kesimpulannya, jika Saudara ingin memiliki Ibadah yang sejati, akrablah dengan Firman. Semakin banyak Firman yang direnungkan dan dilakukan, ibadah kita semakin benar dan sejati.