Beberapa waktu yang
lalu kita dibuat tertawa dengan logika bodoh dari petinggi sebuah partai.
Menurutnya ada penguasa yang akan menjegal pencapresan salah satu tokoh idaman
kaum kepala terbalik. Meski saya harus kagum karena kemampuannya memancing
perhatian public, sehingga kaum pro dan kontra harus bersuara. Sebagai seorang
politisi senior tentu sudah mahfum dengan jegal-menjegal di arena perpolitikan.
Jangankan antar partai, dalam internal partai sangat sering kita dengar. Harun
Masiku caleg PDIP yang lama dididik PD berusaha menggeser Riezky Aprilia, Anis
Matta ditendang dari posisi pucuk pimpinan PKS, Anas Urbaningrum terpaksa
meringkuk di penjara karena tidak taat kepada “sang pemilik” PD, Muhaimin
Iskandar yang menjegal Gus Dur/Yenni Wahid dan banyak penjegalan ketum partai
yang berujung KLB. Mahfud MD pernah merasakan penjegalan, Megawati dihambat
dengan PT 20% dan aturan pencapresan harus S1 walau penjegalan itu gagal. PDIP
sebagai pemenang pemilu 2014 juga dijegal untuk menjadi ketua DPR lewat UU MD3
secara mendadak dan masih banyak lagi.
Sekali lagi saya
kagum dengan kepaiwaian sang politikus mengaduk-aduk kebatinan bukan saja para
kaum kepala terbalik, tetapi juga mereka yang kontra. Entah doktrin seperti apa
yang diberikan, sehingga kaum kepala terbalik begitu cepat mempercayai apabila
ada berita yang menyerang rezim saat ini walau sulit diterima akal sehat, atau
sebenarnya bukan barang baru dalam hal politik. Juga mengherankan mereka tidak
melihat dengan mata yang jelas siapa pembawa kabar itu. AA sangat viral dengan
peristiwa Narkoba dan kondom bergerigi serta saksi suap bupati PPU, sehingga
sebagai mantan (mungkin sudah berhenti) pemakai harusnya bisa jadi tolok ukur.
Saya jadi teringat bagaimana seorang RG yang mengaku dirinya sebagai Atheis
justru mendapat mimbar di sebuah masjid, sementara mereka memaki wapres yang
jelas mantan ketum MUI. Setelah Pilkada 2017, suasana kebatinan masyarakat
sungguh mengalami ujian seirus. Kaum kepala terbalik memang sulit untuk
dipahami. Bagaimana mereka menghujat pemegang medali emas ganda putri karena
tidak berhijab, tetapi tidak komentar pada Mutiara Baswedan yang juga tidak
berhijab. Agama dan aksesoris agama hanya bermasalah jika beda pilihan politik.
Sayangnya media
mainstream memberikan panggung isu recehan ini yang kemudian ditanggapi oleh
kaum kontra. Sehingga seolah-olah penjegalan ini merupakan sebuah kejadian
“tidak wajar”atau sebuah skandal besar yang tentu dilahap secara rakus oleh
kaum kepala terbalik. Isu ini menjadi sebuah pembenaran kalau kaum kepala
terbalik makin marah dan memaki presiden.
Sebagai kaum awam
saya sulit meski hanya sekedar membayangkan, bagaimana dua kutub ini bisa
kembali merajut kebangsaan. Gap yang terpampang sudah sedemikian lebar. Namun
sebagai seorang anak bangsa yang memiliki TUHAN tentu tetap memiliki
pengharapan, bahwa akan ada saatnya bangsa ini kembali dapat bersama. Bagi
saya, nama Indonesia ini ajaib. Bagaimana tidak, Sumpah Pemuda yang dihadiri
oleh pemuda berbagai daerah sepakat memakai nama Indonesia, berbahasa juga
Indonesia. Padahal waktu itu lebih banyak pemuda Jawa yang menghadiri.
Indonesia juga secara ajaib disatukan dengan Pancasila secara khusus pasal
pertama. Dalam penetapan itu sesungguhnya lebih banyak kaum muslim bahkan para
ulama yang hadir, namun rela mencoret kata: Menjalankan syariat Islam bagi para
pemeluknya, demi terwujudnya ke-Indonesiaan. Selain tentu badai kembalinya NICA
dalam perang kemerdekaan, pembrontakan dalam negeri, sampai demo angka cantik
yang konon diikuti oleh 3 juta, lalu direvisi 7 juta, dan mungkin akan direvisi
lagi menjadi 13 juta demi sebuah angka cantik.
Mungkin pemerintah
bisa mengembalikan berbagai upacara peringatan hari Nasional seperti dulu,
mendidik generasi muda mengenal perjuangan dan memupuk rasa nasionalisme.
Pengibaran wajib bendera merah-putih pada hari-hari tertentu. Mengembalikan
baju seragam sekolah tanpa harus melalui pemaksaan, namun menindak tegas
pemaksaan aksesoris agama tertentu di sekolah-sekolah negeri. Itu hanya bisa
dilakukan jika Pemerintah memiliki kemauan dan keberanian. Hal-hal ini mungkin
hanya seremonial, saya percaya banyak hal lain yang bisa dilakukan (sayang
tidak terpikir oleh kaum seperti saya), namun hal seremonial ini lama-kelamaan
akan membangkitkan nilai-nilai kebangsaan lebih baik lagi. Semoga.
No comments:
Post a Comment